Ilustrasi
Ilustrasi

Pendahuluan

Negara Republik Indonesia adalah negara yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Pancasila. Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut: UUD 1945) menyatakan "Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar". Pasal 22E ayat (2) UUD 1945 menegaskan "Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah".

Pemilihan umum (Pemilu) yang diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri, serta dilaksanakan setiap lima tahun sekali itu merupakan wujud sirkulasi pemberian mandat baru oleh rakyat kepada wakil-wakilnya di lembaga legislatif dan kepada Presiden dan Wakil Presiden sebagai manifestasi dari kedaulatan rakyat.

 Pada 2019 kita akan memulai babakan sejarah baru dalam Pemilu, seiring dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan bahwa Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD (Pemilu Legislatif, disingkat: Pileg) dan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) harus serentak, bukan terpisah sebagaimana dipraktikkan selama ini.

Gagasan Pemilu dalam Perubahan UUD 1945

Kesepakatan tentang norma Pileg dan Pilpres diatur dalam konstitusi kita dicapai pada tahun ketiga dalam proses berkesinambungan selama empat tahun Perubahan UUD 1945, meski pembahasannya sudah dimulai sejak dua tahun sebelumnya.

Pada saat itu ada keinginan kuat dari para perumus Perubahan UUD 1945 untuk melakukan pemilihan umum serentak, yaitu pemilu untuk memilih anggota legislatif disatukan dengan pemilu untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden. Dalam Risalah Komisi A ke-2 Sidang Majelis pada Sidang Tahunan MPR 2001, tanggal 5 November 2001, banyak muncul istilah “Pemilu Serempak” atau “Pemilu 5 (lima) Kotak” dalam pembahasannya. Dimaksud dengan "Pemilu 5 Kotak" adalah kotak pertama yang merujuk pada kotak DPR, kotak kedua adalah kotak DPD, kotak ketiga adalah kotak Presiden dan Wakil Presiden, kotak keempat adalah kotak DPRD provinsi, dan kotak kelima adalah kotak DPRD kabupaten/kota. Dengan latar belakang itu, maka lahirlah rumusan Pasal 22E ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi: “Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah”.

Pemilu serentak juga tersirat dalam Pasal 6A Ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum”. Pasal ini mengisyaratkan pemilu serentak yakni penggabungan pileg dengan pilpres dalam satu hari-H pemilihan. Frasa “sebelum pelaksanaan pemilihan umum” mengisyaratkan pemilu yang dimaksud adalah pilpres dan juga pileg yang pelaksanaannya disatukan. Frasa "pemilihan umum" dalam Pasal 6A ayat (2) tersebut merujuk pada Pasal 22E ayat (1) dan (2) UUD 1945. Norma kedua pasal itu ditetapkan pada kurun waktu yang sama, yaitu pada Perubahan Ketiga UUD 1945 di tahun 2001, sehingga memiliki keterkaitan yang erat.

Pemilu Nasional Serentak dan Penguatan Sistem Presidensial

Salah satu dari lima kesepakatan dasar Perubahan UUD 1945 adalah mempertegas sistem pemerintahan presidensial. Penyelenggaraan pileg dan pilpres secara serentak merupakan bagian dari rancang bangun sistem pemerintahan presidensial yang ingin lebih dipertegas.
UUD 1945 menempatkan Presiden dalam posisi yang memiliki legitimasi kuat karena dipilih langsung oleh mayoritas rakyat, sehingga dalam masa jabatannya tidak dapat dijatuhkan, kecuali karena alasan pelanggaran hukum yang secara limitatif telah ditentukan. Posisi Presiden dalam hubungannya dengan DPR adalah sejajar dengan prinsip hubungan yang saling mengawasi dan mengimbangi (checks and balances).

Pemisahan pelaksanaan pileg dengan pilpres yang berlangsung selama ini belum mampu memperkuat sistem presidensial. Mekanisme saling mengawasi dan mengimbangi antara DPR dan Presiden kurang berjalan dengan baik. Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden kerap menciptakan hubungan kemitraan taktis yang bersifat sesaat dengan partai politik, sehingga tidak melahirkan gabungan kerjasama antarpartai politik berjangka panjang yang dapat melahirkan penyederhanaan jumlah partai politik secara alamiah. Dalam praktik, model pengusulan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden oleh gabungan partai politik tidak lantas membentuk gabungan kerjasama yang bersifat permanen dari partai-partai politik di parlemen, sehingga tak kunjung mampu mewujudkan penyederhanaan sistem kepartaian kita.

Pemilu serentak merupakan jawaban atas berbagai persoalan di atas. Dalam pemilu serentak kemenangan calon presiden cenderung diikuti perolehan kursi mayoritas parlemen partai atau gabungan partai pengusungnya. Demikian pula sebaliknya. Pemilu serentak akan menciptakan gabungan kerjasama antarpartai politik dalam pemerintahan yang solid karena proses pembentukannya tersedia cukup waktu. Bandingkan dengan pembentukan gabungan kerjasama antarpartai politik saat ini, yang mana semua partai menunggu hasil pileg yang jaraknya hanya satu bulan dari jadwal pencalonan presiden dan wakil presiden.

Pembentukan gabungan kerjasama antarpartai politik dalam menghadapi pilpres saat ini pun berlangsung cair dan cenderung tidak berpola. Ia akan terbentuk di menit-menit akhir karena desakan waktu. Ada penggabungan sebelum pilpres, lalu ada partai bergabung pada putaran kedua, dan ada pula partai masuk lagi setelah pilpres usai untuk ikut gabung dalam pemerintahan.  Akibatnya, bangunan gabungan kerjasama yang dihasilkan rapuh. Partai yang pertama bergabung merasa berhak mendapatkan kursi kabinet lebih banyak. Sementara partai lain meskipun bergabung belakangan juga merasa memiliki hak serupa karena punya kursi di parlemen. Bahkan lalu ada partai yang meminta anggota legislatifnya untuk merecoki pemerintahan di mana mereka ikut di dalamnya.

Dalam jangka panjang, pemilu serentak dapat menyederhanakan pola kepartaian yang dibutuhkan sistem presidensial. Hal itu karena gabungan kerjasama antarpartai politik yang terbentuk, baik yang menang maupun yang kalah dalam persaingan pemilu cenderung menjadi permanen. Tentu ada kemungkinan partai yang berubah "mitra-koalisi" di tengah perjalanan, tapi jumlahnya minim saja. Partai-partai besar cenderung bertahan dan mapan pada posisinya. Sementara partai-partai kecil yang tidak punya calon presiden hebat akan berkurang dengan sendirinya.

Ambang Batas Pencalonan Presiden dan Wakil Presiden

Dengan Pemilu serentak, persyaratan bagi Partai Politik atau gabungan Partai politik untuk mengusulkan calon Presiden dan Wakil Presiden, yaitu perolehan 20 persen kursi di DPR atau 25 persen dari suara sah secara nasional menjadi kehilangan urgensi dan tidak relevan lagi.

Sesungguhnya norma 'presidential threshold', yaitu batas ambang seseorang dinyatakan sebagai Presiden terpilih pada UUD 1945 diatur dalam Pasal 6A ayat (3), bukan pada ayat (2), yang menyatakan bahwa "Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden". Adapun Pasal 6A Ayat (2) UUD 1945 berbunyi "Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum”. Pasal ini menegaskan bahwa kriteria partai politik atau gabungan partai politik yang berhak mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden adalah partai politik yang dinyatakan sebagai peserta pemilihan umum, tanpa embel-embel persyaratan ambang batas lainnya. Ini berarti setiap partai politik yang memenuhi persyaratan sebagai peserta Pemilu berhak untuk mengusulkan calon Presiden dan Wakil Presiden.

Desain Pemilihan Umum Nasional Serentak

Kedudukan konstitusional partai politik dalam pemilu sangat strategis. Partai politik disebut sebagai peserta pemilu (Pasal 22E), dan dalam kedudukannya sebagai peserta pemilu itu partai politik adalah satu-satunya institusi yang diberi hak untuk mengusulkan pasangan capres/cawapres (Pasal 6A). Jadi dapat disimpulkan bahwa gagasan pemilu dalam UUD 1945 pasca perubahan adalah pemilu serentak berbasis partai politik.

Pemilu serentak memerlukan modifikasi pada sistem Pilegnya. Kalau hal itu tidak dilakukan dikhawatirkan justru akan menggagalkan tujuan pemilu itu sendiri. Tanpa perubahan sistem, Pemilu 2019 bisa lebih buruk kualitasnya dibanding dengan Pileg 2014. Tanpa penyempurnaan sistem, Pemilu 2019 bisa menjadi ajang lebih maraknya praktek politik uang, gagal mewujudkan sistem presidensial yang dicita-citakan, dan ujungnya akan mendistorsi pelaksanaan amanah konstitusi dalam implementasi kedaulatan rakyat.

Sistem Pileg kita mestinya kembali kepada semangat konstitusi yang telah menetapkan partai politik sebagai peserta pemilu. Pemilu proporsional terbuka berbasis caleg harus dikembalikan menjadi berbasis partai politik yang merupakan peserta pemilu. Perubahan ini dapat mengatasi kelemahan sistem pemilu kita saat ini seperti maraknya politik uang, ‘perang-saudara’ antar caleg, kecurangan-kecurangan yang dilakukan baik oleh peserta maupun penyelenggara/dan atau bersama-sama. Juga yang tak kalah penting adalah bahwa sistem proporsional berbasis partai politik ini berkesesuaian dengan pola pemerintahan presidensial. Dengan sistem proporsional berbasis partai politik, maka partai politik yang melakukan kampanye dan pemilih hanya memilih partai politik, bukan memilih caleg secara langsung. Para caleg mendukung partai politiknya berkampanye, dengan mengangkat isu-isu yang jelas dan terarah. Mereka tidak perlu melakukan kampanye sendiri-sendiri dengan mengangkat isu-isu pribadi yang justru membingungkan. Lebih dari itu, pemilih dapat dimudahkan dalam menentukan pilihan.

Syarat mutlak kembalinya Pileg kepada sistem proporsional berbasis partai politik harus dibarengi dengan perbaikan sistem rekruitmen bakal caleg dan bakal capres oleh partai politik. Partai politik perlu memberi jaminan kepada masyarakat bahwa caleg-caleg mereka bukanlah kucing-kucing dalam karung, atau calon-calon dari hasil praktik oligarki. Hal itu dapat dilakukan dengan perintah UU. Setiap partai politik peserta Pemilu wajib menyelenggarakan pemilu internal untuk memilih bakal caleg dan bakal capres yang akan dikirim untuk mengikuti Pemilu 2019. UU harus mengatur aturan yang rinci dan tegas terkait hal ini dengan memberikan sanksi diskualifikasi bagi partai politik yang tak mentaatinya.

Perubahan Regulasi

Menindaklanjuti Putusan MK, DPR bersama Presiden hasil Pileg dan Pilpres 2014 harus segera mempersiapkan perubahan berbagai UU terkait Pileg dan Pilpres, sehingga pelaksanaan Pemilu Nasional secara serentak mempunyai pijakan hukum yang kuat, merujuk pada konstitusi. DPR melalui Badan legislasi diharapkan membentuk tim kerja yang dalam waktu setahun mampu  merumuskan sistem, pola, dan format pemilu serentak yang cocok dan sesuai dengan realitas keindonesiaan kita. Perwakilan fraksi dengan ditambah mayoritas sejumlah akademisi dan kalangan yang dinilai memiliki ketulusan dan objektivitas tinggi dalam membangun sistem ketatanegaraan kita layak dilibatkan. Presiden melalui Kementerian Hukum dan HAM juga diharapkan melakukan hal yang sama.

Awal 2016 rancangan revisi UU produk tim kerja tersebut sudah mulai dibahas DPR dan Presiden. Dengan demikian, pada akhir tahun kedua atau awal tahun ketiga Pemerintahan 2014-2019 sudah memiliki UU tentang Pemilu Serentak yang konstitusional. Cukup waktu yang memadai untuk mensosialisasikan UU tersebut ke berbagai kalangan, sehingga penyelenggaraan Pemilu 2019 akan jauh lebih baik dari sebelumnya.

Penutup

Pemilu merupakan ajang untuk menegakkan kedaulatan rakyat dalam rangka pengamalan sila keempat “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawarat¬an/ perwakilan“. Karena itu, Pemilu harus dipersiapkan secara matang dan penuh kesungguhan, serta dengan ketelitian yang tinggi dan dilandasi pengabdian yang besar kepada bangsa dan negara.

Pemilu serentak diyakini akan dapat mengatasi berbagai persoalan yang ditimbulkan selama ini, seperti mahalnya ongkos penyelenggaraan, politik biaya tinggi atau politik uang, konflik antar kelom¬pok kepentingan, politisasi birokrasi, korupsi, instabilitas dan tidak efektifnya pemerintahan.

www.lukmansaifuddin.com
This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it.
@lukmansaifuddin

Makalah disampaikan pada “Konferensi Nasional Hukum Tata Negara dan Penganugerahan Muhammad Yamin Award”, yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas bekerjasama dengan Tahir Foundation dan Pemerintah Kota Sawahlunto (29 Mei-1 Juni 2014), pada 30 Mei 2014 di Kota Sawahlunto, Sumatra Barat.