AWAL MULA Pancasila digagas para pendiri negara dengan fungsi utama sebagai dasar negara. Gagasan tentang perlunya dasar negara pertama kali muncul dalam sidang pertama BPUPKI. Ketua BPUPKI Dr. KRT Radjiman Wedyodiningrat waktu itu bertanya, “Indonesia merdeka yang akan kita dirikan nanti dasarnya apa?”

Para pendiri negara yang kemudian menemukan Pancasila sebagai dasar negara menyebutkan bahwa yang dimaksud dasar di sini adalah philosofische grondslag, yaitu dasar kefilsafatan bagi berdirinya Negara Indonesia yang diserap dari weltanschauung, pandangan hidup bangsa yang berupa nilai-nilai fundamental, yaitu nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan/kebangsaan, kerakyatan, dan keadilan sosial (Kongres Pancasila, 2009: 53).

Karena diambil dari budaya sendiri, nilai-nilai ini diyakini kebenarannya dan diakui dapat membawa manfaat yang besar bagi bangsa Indonesia kalau dijadikan sebagai sumber nilai dan norma moral bagi pengelolaan kehidupan bersama, baik dalam berbangsa maupun bernegara.

Pancasila sebagai dasar negara bermakna bahwa nilai-nilai Pancasila berfungsi untuk menata dan mengatur penyelenggaraan negara, dasar dalam menata dan mengatur sistem pemerintahan negara, serta merupakan sumber norma hukum dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Perpaduan Madu dan Susu

Nilai-nilai Pancasila diakui memiliki keunggulan. Sejumlah ahli malah menyebutkan keunggulan Pancasila setara dengan ideologi-ideologi besar lainnya, seperti Sosialisme, Marxisme dan lain-lain. Pancasila merupakan paduan unik antara moralitas agama dan naturalisme iptek, atau Barat yang sekuler dan Timur yang religius. Pancasila menyentuh dimensi lahir dan dimensi batin dari peradaban bangsa Indonesia. Pancasila, meminjam istilah Prof. Noor Syam, merupakan paduan antara "sumur madu" peradaban theisme religius dari Timur dan "sumur susu" peradaban sekuler dari Barat (M. Noor Syam, Kongres Pancasila, 2009: 76). Artinya, manusia atau bangsa yang ingin sehat dan kuat hendaknya memadukan nilai theisme religius dengan iptek. Atau dengan kata lain, budaya dan peradaban yang luhur dan unggul akan berkembang bila didasarkan pada nilai-nilai moral agama dan ilmu pengetahuan/tek¬nologi.

Keunggulan Pancasila sejak mula sudah diusahakan oleh para pendiri bangsa lewat kesadaran dan kearifan kolektif mereka bahwa dasar negara haruslah sesuatu paham yang hidup, yang dijalankan sehari-hari. Bahwa sumur madu dan sumur susu itu ternyata telah ada di negeri sendiri. Dasar negara yang tidak bersumber dari lokalitas obyektif suatu budaya masyarakat tentulah akan membuat negara yang berpijak di atasnya mudah goyah diterpa perubahan zaman.

Dalam kaitan ini menarik untuk disimak pandangan Alfian mengenai kriteria ideologi yang baik (Alfian, 1978: 187). Suatu ideologi akan mampu bertahan dan berfungsi dengan baik bila memenuhi sekurangnya tiga syarat. Pertama merupakan pencerminan realita yang hidup dalam masyarakat di mana ideologi itu muncul untuk pertama kalinya, paling kurang pada saat-saat kelahirannya. Dengan perkataan lain, ideologi merupakan gambaran tentang sejauh mana suatu masyarakat berhasil memahami dirinya sendiri. Di sanalah terletak daya tahan sesuatu ideologi.

Kedua terkait dengan kemampuannya memberikan harapan kepada berbagai kelompok yang ada dalam masyarakat akan kehidupan bersama dan masa depan yang lebih cerah. Dimensi inilah motor penggerak yang membangkitkan hasrat para pendukung ideologi untuk hidup bersama, bersatu, dan berpartisipasi dalam berbagai kegiatan hidup bermasyarakat, berbangsa, dan be rnegara.
 
Ketiga terkait dengan kemampuannya mempengaruhi sekaligus menyesuaikan diri dengan pertumbuhan atau perkembangan masyarakat. Adanya fleksibilitas ini membuka jalan bagi generasi penerus untuk mengembangkan dan menggunakan kemampuan intelektualnya untuk mencari interpretasi-interpretasi baru yang mungkin bisa diberikan terhadap nilai-nilai dasar ideologi. Dengan fleksibilitas ini terbuka ruang yang luas untuk menjaga relevansi ideologi dengan perkembangan masyarakatnya.

Keunggulan lain dari Pancasila yang sering tidak kita sadari adalah rumusan teks Pancasila yang dibuat sederhana, singkat dan padat sehingga mudah dihapal oleh masyarakat hampir segala strata dan lapisan. Ini dimaksudkan agar Pancasila mudah dikenal dan diingat serta mudah menjangkau masyarakat seluas-luasnya. Bersamaan dengan itu di balik teks yang singkat tersebut terkandung nilai-nilai fundamental yang memerlukan pemahaman seksama.
 
Pemikiran para pendiri bangsa mengenai dasar negara bahwa negara Indonesia adalah negara persatuan, demokrasi yang religius, humanis dan berkeadilan sosial merupakan pemikiran yang khas Indonesia, yang membedakan dari konsep-konsep negara liberal, negara sosialis, negara sekuler, negara teokrasi dan lain sebagainya. Karena itu butir-butir ide yang terkandung dalam sila-sila Pancasila tidak berdiri sendiri-sendiri melainkan merupakan satu kesatuan (Kaelan M.S., Kongres Pancasila, 2009: 247). Pemahaman parsial bukan saja akan mengarahkan pada konotasi bentuk negara tertentu non-Pancasila tetapi juga akan membawa implikasi serius terhadap segala usaha yang dilakukan terkait revitalisasi, reaktualisasi dan imple¬mentasi nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa.

Karena itu menarik disimak gagasan mengenai penyatuan butir-butir nilai Pancasila dalam satu kesatuan. Pancasila dipandang sebagai satu kesatuan yang bulat dan utuh karena Pancasila akan mengalami kerancuan bila sila-silanya diantitesiskan satu sama lain atau dipahami terpisah sendiri-sendiri. Setiap sila memiliki hubungan yang saling mengikat dan menjiwai satu sama lain, sedemikian rupa hingga tidak dapat dipisah-pisahkan (Notonagoro, 1975: 52).

Dengan pemahaman seperti itu maka pengertian negara yang kita kehendaki menurut Pancasila sebagai dasarnya adalah negara yang (1) ber-Ketuhanan yang Maha Esa, yang ber-Kemanusiaan yang adil dan beradab, yang ber-Persatuan Indonesia, yang ber-Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, serta ber-Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia; (2) ber-Kemanusiaan yang adil dan beradab, yang ber-Ketuhanan yang Maha Esa, yang ber-Persatuan Indonesia, yang ber-Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan ber-Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia; (3) ber-Persatuan Indonesia, yang ber-Ketuhanan yang mahaesa, yang ber-Kemanusiaan yang adil dan beradab, ber-Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan ber-Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia; (4) ber-Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, yang ber-Ketuhanan yang mahaesa, yang ber-Kemanusiaan yang adil dan beradab, yang ber-Persatuan Indonesia, dan ber-Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia; (5) ber-Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, yang ber-Ketuhanan yang Maha Esa, yang ber-Kemanusiaan yang adil dan beradab, yang ber-Persatuan Indonesia, dan ber-Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan.

Kalau kata "negara" diganti dengan kata "demokrasi" misalnya, maka akan kita temukan makna demokrasi Pancasila yang sebenarnya adalah demokrasi yang religius, berperikemanusiaan, persatuan/kebangsaan, kerakyatan, dan berkeadilan sosial. Kita bisa mengganti dengan kata kunci lain seperti "pembangunan" atau "hukum" atau yang lainnya, niscaya akan menemukan hakekat pengertian pembangunan atau hukum menurut Pancasila yang  sebenar-benarnya.

Eksperimen Demokrasi

Demokrasi merupakan amanah terpenting dari Pancasila. Demokrasi dalam perspektif Pancasila dirumuskan oleh para pendiri bangsa merupakan jawaban atas tantangan nyata bangsa pada masa itu dengan mengelaborasi gagasan besar dunia, namun dimaknai dengan berpijak pada kearifan budaya nusantara dan sejarah bangsa secara visioner. Dalam perspektif ini, bangsa kita telah mempraktikkan demokrasi sejak sebelum kemerdekaan. Eksperimentasi atas demokrasi khas Indonesia ini, demokrasi Pancasila, di negeri ini masih berlanjut untuk berproses mencapai bentuk yang matang.

Bila dibandingkan dengan negara yang kerap disebut sebagai kampiun demokrasi seperti Amerika Serikat, demokrasi Indonesia memang baru seumur jagung.  Tak beda jauh dari negeri asalnya, eksperimentasi demokrasi di Indonesia tidak serta merta berjalan mulus. Suatu waktu dalam periode tertentu kita mengalami banyak cobaan yang tidak ringan. Bahkan sempat mengalami suatu masa di mana kita seperti kehilangan harapan terhadap sistem yang dianggap terbaik di dunia ini.

Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 memberi harapan baru pasca terbebas dari belenggu penjajah. Keinginan untuk hidup mandiri dengan membentuk pemerintahan yang demokratis terbuka lebar. Namun pemilihan umum yang menggambarkan kedaulatan rakyat dilaksanakan dalam level tertinggi sebagaimana diisyaratkan dalam Penjelasan UUD 1945 itu belum dapat dilaksanakan, karena terkendala oleh perang kemerdekaan.

Demokrasi mulai tampak semarak dengan terselenggaranya Pemilu 1955 yang membolehkan partai lokal dan perseorangan sebagai kandidat wakil rakyat. Namun praksis demokrasi parlementer pada periode ini pada akhirnya tidak melahirkan kestabilan pemerintahan yang ditandai jatuh bangunnya kabinet. Parlemen (DPR dan Dewan Konstituante) tidak berhasil mencapai kesepakatan, sementara di luar gedung parlemen terjadi pemberontakan daerah (dewan gajah, dewan banteng, dewan garuda dan lain-lain), kelangkaan minyak tanah, kelaparan dan meningkatnya jumlah orang miskin.

Ketika demokrasi liberal multi partai tak berdaya mengatasi persoalan bangsa Presiden Soekarno ambil sikap menggantinya dengan sistem dan kerangka pemerintahan baru. Demokrasi liberal atau parlementer dianggap tidak cocok dengan jatidiri dan budaya bangsa. Sistem dan kerangka pemerintahan yang baru, yang ia sebut Demokrasi Terpimpin (1959-1966) dimaksudkan untuk mengatasi kemandegan politik dan ekonomi serta membangun pemerintahan yang efektif. Demokrasi Parlementer, menurut Bung Karno tidak saja telah membuat tugas-tugas pembangunan berhenti dan menjadikan pemerintahan berjalan tidak efektif, tetapi juga mengancam integrasi nasional.

Namun praksis Demokrasi Terpimpin yang ditandai dengan pengurangan secara drastis kebebasan publik dan kekuasaan partai politik dengan tujuan mempertahankan persatuan kesatuan nasional dan menciptakan pemerintahan yang efektif telah mengubah rezim pemerintahan parlementer menjadi otoriter. Pengalaman Rezim demokrasi terpimpin mirip dengan pengalaman sejumlah negara Asia dan Afrika yang lain yang menganggap integrasi nasional mensyaratkan adanya sentralisasi kekuasaan (Bahtiar Effendy, 2011: 272).

Selama Orde Baru (1966-1998) partisipasi rakyat dalam kegiatan politik dan ekonomi dibatasi. Pemerintah memprioritaskan pertumbuhan ekonomi dan pemaksimalan pembangunan fisik dengan sarana hutang luar negeri dan investasi asing pada industri-industri strategis. Seperti halnya rezim sebelumnya alasan pengurangan partisipasi politik ditujukan untuk mencapai tujuan-tujuan pembangunan yakni stabilitas politik, pertumbuhan dan pemerataan. Stabilitas dan pertumbuhan berhasil dicapai, namun pemerataan tidak berhasil diwujudkan.

Kalau pada pemerintahan Orde Lama ditandai perkembangan pesat demokrasi yang kemudian memicu kekecewaan lantaran tak kunjung mewujudkan masyarakat adil makmur, maka pada pemerintah Orde Baru yang lebih memilih ideologi pragmatisme ekonomi-politik dengan membuka pintu lebar-lebar bagi hutang dan investasi luar pada akhirnya juga menghadapi tantangan serupa akibat represi politik dan ketidakadilan yang kemudian menimbulkan krisis multi-dimensi pada akhir dekade 1990-an.

Demokrasi Meluas

Sepeninggal Orde Baru demokrasi menyebar ke seluruh sendi kehidupan bangsa. Gelombang reformasi merevisi semua sistem yang berlaku sembari mengambil pelajaran dari kekurangan-kekurangan rezim sebelumnya dan menggabungkan sisi-sisi positif pada masing-masing era dengan menumbuhkan demokrasi dan memaksimalkan pembangunan, memberantas kemiskinan serta penegakan keadilan dan hak-hak asasi manusia.

Cita-cita demokrasi Pancasila yang berbasis keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia yang menjadi landasan moral etik reformasi dikedepankan dalam setiap pelaksanaan agenda reformasi terkait penyelenggaraan negara dan pemerintahan yang efektif dengan tata kelola (governance) yang baik.

Melalui kehendak kolektif reformasi, nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan bernegara telah dijabarkan dalam konstitusi dan berbagai peraturan perundang-undangan sesuai semangat zaman. Mekanisme checks and balances di antara institusi-institusi demokrasi, penataan struktur ketatanegaraan fundamental di tingkat pusat dan daerah, telah dibangun melalui Perubahan UUD 1945 secara konstitusional selama periode 1999-2002.

Perluasan demokrasi juga dihadirkan dalam sistem pemilihan langsung kepemimpinan nasional, pemilu legislatif dan pemilu kepala daerah; disertai kebebasan berserikat, kebebasan mengemukakan pendapat, kebebasan pers dan lain-lain. Semakin luas keterlibatan masyarakat dalam mengkritisi kebijakan pemerintah atas kondisi-kondisi struktural yang merugikan warga negara berupa aksi-aksi unjuk rasa, pembentukan organisasi, juga perlawanan untuk mempertahankan hak-hak yang dilanggar.

Untuk mendapatkan sistem perwakilan politik yang efektif dilakukan penyesuaian dengan mengubah sistem pemilihan umum yakni pemilu legislatif dan pemilu presiden-wakil presiden melalui revisi undang-undang yang mengaturnya, yang kini tengah digodok DPR bersama pemerintah.

Hubungan pusat-daerah dipulihkan dalam bentuk otonomi daerah lewat desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas perbantuan. Pemerintah pusat memiliki kewenangan yang dibatasi dalam politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, serta agama. Sementara, urusan-urusan lain dikelola secara bersama-sama oleh pemerintah daerah, yakni pemerintah provinsi, kabupaten dan kota yang antara lain meliputi pendidikan, kesehatan, ketenagarakerjaan, dan lingkungan hidup.

Yang tidak kalah menarik dari seluruh proses pemulihan demokrasi adalah kemunculan daerah-daerah khusus dan istimewa yang mempunyai struktur pemerintahan yang berbeda dengan daerah-daerah lainnya. Provinsi Papua diatur lewat UU No. 21/2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua. Aceh diatur lewat UU No. 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh. Daerah Khusus Ibukota Jakarta dan Daerah Istimewa Yogyakarta sedang bergulat dengan rancangan perubahan undang-undang masing-masing.

Perjalanan demokrasi dalam wilayah dan lingkup yang sangat luas itu  sesekali menimbulkan kekhawatiran, apakah eksperimen demokrasi kali ini sudah berada di jalur yang tepat. Apakah kita bersama akan dapat mewujudkan kesejahteraan rakyat melalui sistem politik sekarang.
 
Saat ini Indonesia masih dalam tahap konsolidasi. Ada yang berpendapat, institusi-institusi penopang demokrasi belum sepenuhnya terbentuk, sementara yang sudah terbentuk belum sepenuhnya optimal. Sistem demokrasi yang berkembang dirasakan masih belum sepenuhnya menjawab tantangan terwu¬judnya tujuan nasional sebagaimana termaktub dalam pembukaan UUD 1945, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

Tantangan Demokrasi Pancasila

Ketika efektivitas suatu sistem melemah pertanda ada masalah yang memerlukan langkah penyelamatan. Relevansi suatu sistem dengan realitasnya atau dengan kebutuhan zamannya haruslah dipelihara kalau ingin fungsi-fungsi transformatifnya bisa bekerja. Tak ubahnya demokrasi Pancasila, juga akan kehilangan pesona atau kembali ditelantarkan seperti pengalaman masa lalu apabila tidak ditegakkan dengan konsisten yang ditunjang dengan sistem, kultur, kompetensi dan komitmen yang memadai.

Masalah disabilitas ideologi yang mengakibatkan terhambatnya implementasi tugas-tugas propetiknya itu biasanya disebabkan kegagalan para pendukung dalam menghadapi tantangan-tantangan yang dihadapi, baik tantangan dari dalam maupun dari luar.

Dalam banyak aspek, krisis ideologi terjadi ketika aktor-aktor pendukung dan lembaga-lembaga demokrasi tidak bekerja dengan benar untuk kepentingan publik dalam republik. Karena itu secara internal tantangan masa depan demokrasi kita ialah meningkatkan kemampuan kinerja pranata-pranata demokrasi terutama pranata formal seperti legislatif, eksekutif dan yudikatif demi terwujudnya tujuan masyarakat adil makmur lahir dan batin.

Dengan pelbagai capaian yang sudah diraih Indonesia, terasa sekali ada kebutuhan untuk menjaga agar dinamika demokrasi berlangsung stabil dan efektif. Faktor-faktor penghambat demokrasi yang mengganggu perkembangan demokrasi sudah semestinya dicegah. Di antara faktor penghambat berkembangnya demokrasi yang harus kita cegah adalah kembalinya kelompok fundamentalisme radikal yang suka memaksakan kehendak dengan menghalalkan operasi kekerasan, entah dari arah kanan ataupun kiri demokrasi kita.

Tantangan lain yang tak kalah sengitnya adalah globalisasi yang membuat persaingan  global antar bangsa semakin terbuka yang diakibatkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Indonesia yang menjadi bagian dunia yang terlibat atau dilibatkan dalam proyek globalisasi punya kesempatan sama, bisa menjadi subyek atau sekadar obyek dari percaturan hegemoni ideologi dari masing-masing negara dalam globalisasi yang sering dicurigai membawa meta-agenda atau agenda tersembunyi dari neoliberalisme, yaitu penjajahan. Pengaruh sederhana dari percaturan global yang kini sudah melanda bangsa kita adalah budaya konsumerisme yang berpotensi mematikan kreativitas bangsa, dan hedonisme yang mematikan rasa keadilan sosial.  Sulit membayangkan bahaya yang akan timbul kalau pengaruh ini juga harus melanda proses pengambilan kebijakan negara yang harus dijaga tetap pro-poor dan berkeadilan!  

Dengan demikian tantangan Pancasila di era global kini dan mendatang adalah meningkatkan ketahanan nasional di segala bidang kehidupan, membebaskan bangsa terpapar atau terhegemoni budaya asing dari Barat maupun Timur, dengan terus menerus melakukan revitalisasi, reaktualisasi serta implementasi nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan kata lain, kalau kita pinjam pikiran para guru besar kita, Pancasila sebagai dasar negara dengan fungsi regulernya yang harus ditegakkan, juga sekaligus harus dikembangkan sebagai paradigma kritik ideologi atau kerangka berpikir yang berfungsi menertibkan dan meluruskan pikiran-pikiran sesat dari ideologi-ideologi lain.

Contoh terpopuler adalah anggapan sementara kalangan bahwa Pancasila adalah suatu varian yang setara dengan agama. Pikiran yang sering dinisbatkan datang dari kalangan fundamentalisme agama ini menganggap Pancasila adalah ancaman bagi agama dan harus ditolak.
 
Dari sisi lain, contoh kesesatan cara berpikir yang menjadi tantangan bagi Pancasila adalah pikiran yang menempatkan konsep warga negara atau orang-orang yang hidup di suatu negara berdasarkan nasionalisme menjadi sekadar konsumen atas produk-produk material ideologi tertentu berdasarkan pasar. Kinerja konsep kewarganegaraan berdasarkan prinsip hak dan kewajiban politik warga, sementara pasar bergerak atas dasar harga dan daya beli. Sampai di sini memang terlihat tidak ada yang aneh dari pikiran yang sering dinisbatkan datang dari kolompok fundamentalisme pasar ini, namun kalau kita runut alur pikir ini lebih lanjut maka akan terlihat jelas bahayanya, masyarakat yang rendah daya belinya dipastikan akan tersingkir dari lingkungan kehidupan bangsanya sendiri.  Jumlah mereka yang terpinggirkan akan meningkat apabila kebijakan ekonomi pertumbuhan yang diambil tidak dibarengi dengan pemerataan yang berkualitas.

Urgensi Lembaga Khusus

Berdasarkan tantangan-tantangan yang ada, maka sejak bergulirnya reformasi 13 tahun lalu MPR memandang pentingnya pemasyarakatan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pada periode kepemimpinan MPR 2009-2014, pemasyarakatan Pancasila dilaksanakan dan dikembangkan dalam berbagai inovasi baru di antaranya menyangkut materi dan metodologinya. Pemasyarakatan nilai-nilai Pancasila dikemas beserta norma-norma derivatifnya yang utama, yang kemudian dikenal luas dengan sebutan 4 Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara.

Empat pilar yang disosialisasikan itu (1) Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara, (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai sumber hukum dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, (3) NKRI sebagai konsensus bentuk negara yang harus dijunjung tinggi, (4) Bhinneka Tunggal Ika sebagai kaidah hidup bersama dalam kemajemukan yang harus diamalkan.

Selama hampir tiga tahun sosialisasi 4 Pilar, MPR menemukan  kenyataan adanya kecenderungan Pancasila dilupakan, UUD diplesetkan kepanjangan akronimnya dan substansinya diselewengkan dengan perilaku menyimpang, NKRI diperhadapkan kembali dengan federalisme atau separatisme atau negara alternatif dari kanan atau kiri tertentu, Bhinneka Tunggal Ika juga terancam dengan munculnya egoisme dan intoleransi pada sebagian kalangan di dalam masyarakat. Fakta lainnya ialah semakin senjangnya nilai ideal Pancasila dengan kenyataan empiris di masyarakat, di antaranya kesenjangan ekonomi dan kondisi-kondisi struktural pelanggaran hak-hak warga negara di beberapa tempat.

Fakta-fakta lapangan itulah tantangan yang memberi motivasi pada pimpinan MPR dengan kemampuan dan kewenangannya yang terbatas tetap semangat pantang menyerah menggelorakan sosialisasi 4 Pilar kehidupan berbangsa dan bernegara di tengah-tengah masyarakat.

Menyadari betapa penting upaya internalisasi nilai-nilai 4 Pilar Bangsa pada diri setiap warganegara di tengah era globalisasi, dan dikaitkan dengan kenyataan beratnya medan sosialisasi di lapangan akibat luasnya wilayah geografis dan besarnya ragam segmentasi di masyarakat, MPR melihat pentingnya ada lembaga khusus dengan kewenangan besar yang khusus bertugas melakukan kajian dan melaksanakan sosialisasi 4 Pilar secara lebih sistematis, terstruktur, dan massif ke segenap lapisan masyarakat.
 
Gagasan Pimpinan MPR ini mendapat tanggapan positif dari Presiden saat dijumpai Pimpinan MPR di Istana, juga dari para pimpinan lembaga negara dalam pertemuan konsultasi antar mereka. MPR tengah melakukan serangkain kegiatan seminar dan focus group discussion yang melibatkan berbagai lembaga negara, akademisi, dan tokoh masyarakat, guna menyerap aspirasi sekaligus mengkaji urgensi dan kelayakan lembaga khusus tersebut.

Ide pembentukan lembaga khusus yang mendapat tanggapan positif dari masyarakat luas ini harus terus dimatangkan. Kita dihadapkan dengan pilihan-pilihan yang tidak sederhana, apakah akan membentuk lembaga baru, ditengah-tengah kritikan yang menentang gemarnya kita membentuk lembaga-lembaga baru, atau memanfaatkan lembaga/badan yang sudah ada dengan menambah tugas dan kewenangannya.

[Disampaikan oleh Lukman Hakim Saifuddin, Wakil Ketua MPR RI, pada acara Pelatihan Calon Pelatih Di Lingkungan LEMHANNAS, pada tanggal 6 Februari 2012 di Gedung Pancagrata Lantai 3 Barat LEMHANNAS RI]